jangan lupa follow iya kawan seventeen.....

jangan lupa follow iya kawan seventeen.....
Seventeen

Rabu, 15 Desember 2010


Rasa itu berupa emosi campur aduk: senang akhirnya bisa kembali ke bioskop menonton Harry Potter tapi juga nyaris sedih karena tahu akhir Harry Potter sudah dekat.
Saya, seorang muggle, bukan penyihir, tumbuh bersama Harry Potter. Buku dan novelnya telah mengisi hidup saya—juga banyak dari Anda—selama 10 tahun terakhir. Saat pertama baca Harry Potter dan Batu Bertuah tahun 2000 Anda mungkin masih sekolah atau kuliah. Sekarang Anda sudah bekerja, punya suami/istri, dan anak.
Kita telah bersama-sama mengikuti perjalanan Harry. Dari bocah yang bertahan hidup hingga jadi seorang pria dewasa yang menyerahkan hidupnya untukmemenuhi takdir melawan Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut.
Dari bukunya, kita tentu ingat momen ini: Mr Dursley tak sengaja menabrak orang di depan pintu. Si lelaki yang ditabraknya memakai jubah ungu. Dia tak marah ditabrak sampai hampir jatuh. “Jangan minta maaf, Sir, karena tak ada yang bisa membuatku marah hari ini! Bergembiralah, karena Kau Tahu Siapa telah pergi akhirnya! Bahkan Muggle seperti  Andapun harus ikut merayakan hari yang amat sangat membahagiakan ini!” (Harry Potter dan Batu Bertuah, hal. 12)
Atau, momen saat bukunya berakhir, bab Epilog: Sembilan Belas Tahun kemudian. Harry dan Ginny, Ron dan Hermione, serta Draco, lengkap dengan anak-anak mereka mengantar ke stasiun sebelum naik Hogwarts Express. Pada paragraf terakhir JK Rowling, penulis Harry Potter, menuliskan begini: Bekas luka itu tidak pernah membuat Harry sakit lagi selama sembilan belas tahun. Segalanya baik-baik saja. (Harry Potter dan Relikui Kematian, hal. 999)
Saat melipat halaman terakhir buku Harry Potter, saya tak merasakan kehilangan yang berat. Karena saya tahu, walau bukunya tamat, filmnya masih ada. Kita masih bisa bertemu Harry dan kawan-kawan di bioskop.
Tapi, sekali lagi, akhir sudah dekat. Kita akan segera berpisah dari Harry dan yang lain sepenuhnya. Setelah Deathly Hallows Part 1, kesempatan kita melihat Harry Potter tinggal sekali lagi Juli tahun depan saat Part 2 rilis.Deathly Hallows Part 1 dimulai dengan adegan yang membuat haru. Setelah pernyataan Menteri Sihir yang seolah jadi pengantar kalau “These are dark times, There is no denying—ini adalah masa kegelapan, tak disangkal lagi,” kita melihat tiga tokoh utama: Harry, Ron, dan Hermione di rumah masing-masing. Yang paling bikin sedih tentu melihat Hermione menghilangkan memori orang tuanya akan dirinya.      
Kemudian kita melihat yang lain jadi Harry setelah meminum ramuan polyjus. Lucu melihat yang lain berubah jadi Harry—terutama Harry pakai bra.
Film bergerak sangat cepat. Di antara serunya kejar-kejaran kita melihat Hedwig, burung hantu kesayangan Harry, mati demi tuannya dan mendapat kabar kalau Mad-Eye Moody tewas. Tidak banyak waktu untuk berduka, karena film memang bergerak sangat cepat dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Waktu hampir dua setengah jam terasa melayang cepat, sangat cepat malah, dan tahu-tahu credit title tanda film usai muncul. Padahal diri ini masih ingin melihat yang seru-seru.
Ah, itulah mungkin hebatnya David Yates, sutradara Harry Potter yang ini dan 2 film sebelumnya plus “Part 2” Juli depan. Ia berhasil membawa kita pada serunya kisah Harry tanpa terasa lambat. Selain beralur cepat, Deathly Hallows Part 1 relatif setia pada bukunya. Ini satu lagi keunggulan film ini. Saat menonton film-film Harry Potter, saya menganggap kalau filmnya tak bisa utuh menerjemahkan bukunya. Memang, film dan buku dua media berbeda. Tapi, buat saya, menghilangkan bagian-bagian tertentu di buku amat disayangkan. 
Saya pernah menulis, walau film keempat paling baik buat saya sebagai karya sinema, tapi justru di film ke-4, Harry Potter and the Goblet of Fire, yang paling tidak setia pada bukunya. Di situ tak ada Hermione berkampanye membela hak-hak peri rumah dan pertandingan Piala Dunia Quidditch yang kurang detil.
Semula saya agak menyangka kalau membagi buku ke-7 jadi dua film adalah trik Hollywood agar mereka makin untung. Sangkaan saya tidak sepenuhnya benar. Buku ke-7 mungkin memang paling baik dibagi dalam dua film.
Pertama, agar kita, pecinta bukunya, tidak lagi merasa dikhianati karena banyak yang dihilangkan dari bukunya. Bukunya sendiri memang tebal (999 halaman edisi Indonesia). Ada begitu banyak peristiwa yang akan mengganggu jalan cerita bila dihilangkan—itu pun sudah ada yang dihilangkan seperti Dursley yang akhirnya berbaikan dengan Harry dan kehidupan masa lalu Dumbledore yang hanya dicuplik sedikit. 
Kedua, tentu, Hollywood ingin untung lebih banyak dengan bikin dua film—langkah yang juga diadopsi Twilight Saga dengan membagi buku terakhir, Breaking Dawn jadi dua film.
Bagi yang hanya mengikuti kisah Harry Potter dari film, Deathly Hallows Part 1 menandai kisah Harry Potter yang tinggal menyisakan aksi. Tidak ada lagi pelajaran sihir di Hogwarts, guru Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam yang baru, pertandingan Quidditch, atau tetek bengek khas dunia sihir Potter.
Ibarat cerita Lord of the Rings, film ketujuh adalah perjalanan Frodo menuju gunung Mordor menghancurkan cincin Sauron. Bagian saat liontin dikalungkan ke Harry atau Ron lalu mereka jadi gusar dan pemarah mengingatkan saya pada pengaruh buruk cincin di cerita Lord of the Rings.
Seperti cerita Lord of the Rings, Harry Potter telah jadi kisah epik perjalanan manusia melawan marabahaya berperang demi kebaikan. Plot perjalanan sudah jadi ciri khas setiap kisah epik mulai dari The Odyssey zaman Yunani kuno hingga Star Wars gubahan George Lucas.
Harry Potter pantas disandingkan dengan kisah-kisah besar itu.
Yang membuatnya istimewa, kita patut bersyukur menjadi saksi sekaligus tumbuh bersama sebuah kisah besar. Saat kita sebentar lagi berpisah dengan kisah besar itu, wajar muncul perasaan aneh karena akan berpisah. Itu yang saya rasakan usai nonton Deathly Hallows Part 1.
Saya takkan kaget bila 30 tahun dari sekarang bakal ada remake film-film Harry Potter. Saat itu saya, kalau masih hidup, berusia 60 tahun. Dengan teknologi perfilman 30 tahun mendatang, efek visual filmnya mungkin lebih baik. Tapi film Harry Potter 30 tahun yang akan datang tentu ditujukan bagi generasi baru masa itu. Bagi generasi saya, generasi kita sekarang, Harry Potter adalah Daniel Radcliffe; Ron Weasley adalah Rupert Grint; dan Hermione adalah Emma Watson. Lain tidak.        
Ya, akhir sudah dekat. Mari rayakan sambil menyeka air mata, karena kematian Dobby maupun kita akan berpisah dengan Harry dan kawan-kawan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar